Curigai Makanan yang Tidak Basi-basi

Merry Wahyuningsih – detikHealth

jajananJakarta, Seorang ibu rumah tangga membeli jajanan tradisional untuk camilan keluarganya. Karena membeli dalam jumlah banyak makanan itu tidak habis dalam sehari.

Setelah hari ketiga, jajanan itu ternyata tidak juga basi padahal tidak dimasukkan dalam kulkas. Ia pun mulai berpikir kenapa kue-kue basah itu bisa awet hingga berhari-hari?

Ir Chandra Irawan, MSi, pakar kimia pangan dan gizi dari Akademi Kimia Analis Bogor, dalam artikel detikHealth menjelaskan bahwa di Indonesia pada umumnya setiap makanan dapat dengan leluasa beredar dan dijual tanpa harus terlebih dahulu melalui kontrol kualitas dan kontrol keselamatan.

Diduga lebih dari 70 persen makanan tradisonal yang dijual dalam proses produksinya jauh dari persyaratan kesehatan dan keselamatan karena pemakaian bahan pengawet yang tinggi misalnya.

Untuk makanan tradisional misalnya, Ir Chandra menjelaskan banyak produsen ‘nakal’ yang sering menambahkan zat aditif atau pengawet tertentu yang berbahaya agar membuat makanan yang dijualnya tampak menarik, tahan lama dan tidak gampang basi.

Ir Chandra menyebutkan beberapa pengawet berbahaya yang sering digunakan untuk makanan tradisional dan jajan anak sekolah antara lain Formalin (pengawet non makanan dan disinfektan), Boraks (pengawet non makanan dan pestisida), Natamysin, Kalium Asetat dan Butil Hidroksi Anisol (BHA).

Bagaimana mengenali makanan yang pakai banyak pengawet?

Berikut beberapa contoh makanan yang sering ditambahkan zat pengawet berbahaya:

1. Jajanan tradisional
Teksturnya sangat kenyal, berasa tajam seperti sangat gurih, membuat lidah bergetar dan memberi rasa getir. Tidak rusak lebih dari 2 hari pada suhu kamar.

2. Roti
Masa kadaluarsa roti menjadi sangat lama dari biasanya. Tampilan roti sangat putih dan teksturnya tidak lembut dan kenyal, tetapi menjadi agak keras sehingga bisa tahan lama.

3. Mie basah
Teksturnya kenyal, lebih mengkilat, tidak lengket dan tidak mudah putus. Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25 derajat celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat celsius). Tidak lengket dan lebih mengkilap dibandingkan mie biasa.

4. Bakso
Teksturnya sangat kenyal, warna tidak kecokelatan seperti penggunaan daging namun lebih cenderung keputihan. Tidak rusak lebih dari 2 hari pada suhu kamar dan teksturnya sangat kenyal.

5. Tahu
Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar dan bisa bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es. Tahu terlampau keras, kenyal namun tidak padat.

6. Kerupuk
Teksturnya renyah dan menimbulkan rasa getir.

7. Ikan
Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar. Warna insang merah tua tidak cemerlang bukan merah segar dan warna daging putih bersih.

8. Ikan asin
Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar. Bersih cerah dan tidak berbau seperti ikan asin. Tidak dihinggapi lalat pada area yang banyak berlalat.

9. Ayam
Tidak rusak lebih dari 2 hari pada suhu kamar 25 celsius dan tekstur kencang.

Lalu apa bahayanya?

“Pengawet itu kan fungsinya untuk membunuh mikroorganisme. Tapi kalau pengawetnya dimasukkan secara berlebihan, maka akan susah disintesis atau degradasi oleh tubuh, akhirnya terendapkan. Nah, lama-lama ini bisa memicu kanker dan sebagainya karena kan sifatnya karsinogen,” jelas Ir Chandra.

Berikut dampak dari penggunaan zat pengawet berbahaya:

1. Formalin
Dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa dan sistem saraf pusat.

2. Boraks
Dapat menyebabkan gangguan otak, hati, lemak dan ginjal.

3. Natamysin
Dapat menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare dan perlukaan pada kulit.

4. Kalium Asetat
Dapat menyebabkan rusaknya fungsi ginjal.

5. Butil Hidroksi Anisol (BHA)
Dapat menyebabkan penyakit hati dan memicu kanker.

(mer/ir)

sumber: detikHealth

Suplemen kesehatan anakExtragreen HPA jawabnya…

 

Punguti Beras Demi Lima Cucu

beras

Oleh Indriani

Mentari bersinar terik ketika satu persatu truk pengangkut beras memasuki Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Selasa siang itu.

Puluhan buruh angkut sigap berdiri begitu truk menepi di depan toko. Membuka terpal yang menutupi dan pintu belakang truk. Satu persatu karung beras mereka angkut dari truk ke dalam toko.

Hadiani (66) hanya bisa berdiri dan menatap para buruh yang tengah mengangkut beras itu.

Tangan kirinya memegang sapu lidi, tangan kanannya menggenggam pengki. Di punggungnya melilit kain yang dijadikannya sebagai pengganti tas.

Begitu buruh-buruh angkut itu selesai bekerja, nenek lima orang cucu ini dengan cekatan menyapu beras yang menjatuhi jalanan. Tak dipedulikannya terik sinar mentari.

Dengan tekun dikumpulkannya butir-butir beras yang bercampur dengan tanah jalanan. Kemudian dia masukkan ke kantong plastik yang disandangnya.

Sesekali tangannya mengusap keringat yang menetes di wajah penuh kerutan itu. Kelelahan tergambar jelas di wajahnya. Hadiani tak peduli. Dia terus bekerja hingga tak ada lagi beras di jalan.

Hadiani adalah satu dari ratusan pengumpul beras di Pasar Induk Beras Cipinang.

Ada pengumpul beras yang mengumpulkan ceceran beras di lantai toko. Biasanya mereka ini sudah mendapat izin dari pemilik toko.

Ada juga yang mengumpulkan beras yang berceceran di jalan. Mereka ini disebut pengumpul liar.

Hadiani adalah satu dari ratusan pengumpul liar di pusat penampungan beras asal dari daerah penghasil beras di pulau Jawa itu.

“Kalau yang berceceran di toko itu tidak boleh dipunguti karena sudah ada orangnya, jadi cuma boleh memunguti beras yang ada di jalan,” ujar perempuan asal Semarang ini.

Dia kumpulkan beras-beras tercecer itu, kemudian dia pisahkan dari pasir. Lalu dijualnya.  Setiap hari, ia bisa mengumpulkan delapan liter beras yang dijualnya dengan harga Rp3.000 per liter.

“Biasanya beras itu bukan untuk dimakan, tapi untuk makan ayam,” jelas dia.

Hadiani melakoni pekerjaan ini sejak enam tahun lalu, sejak anak semata wayangnya, Budiman, meninggal dunia meninggalkan lima anak yang adalah juga cucu Hadiani.

Bukannya bertanggung jawab mengasuh anak-anaknya, sang menantu malah meninggalkan mereka untuk kabur bersama lelaki lain.

Sejak itu, Hadiani mengambilalih semua tanggung jawab, termasuk menyekolahkan kelima cucunya; Haryanto (17), Haryono (15), Haryadi (13), Harsono (11), dan Haryani (9).

Awalnya, ia bingung mau bekerja apa. Sebelumnya perempuan yang merantau ke Jakarta sejak 1971 ini menjadi pembantu rumah tangga.

Namun di usianya yang mencapai kepala tujuh, ia tidak mampu melakoni dengan baik profesi ini.

“Kalau jadi pembantu tidak kuat, kakinya sudah sakit-sakitan,” kata perempuan yang menjanda sejak tahun 1995 itu.

Hingga kemudian temannya mengajaknya mengumpulkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang.

Mau tidak mau dia harus banting tulang demi menghidupi cucu-cucunya dengan memunguti beras yang berceceran di pasar induk itu. Untuk ini pun, dia harus banyak beristirahat.

Di Jakarta, dia dan kelima cucu tinggal di sebuah kamar kontrakan yang harga sewanya Rp250 ribu per bulan.

Di kamar yang sempit itu, mereka berenam tidur, memasak, pokoknya apa saja.

“Kalau dibilang sempit ya sempit. Tapi mau bagaimana lagi,” ujarnya pasrah.

Beruntung, cucunya yang duduk di SD, SMP dan SMA itu berprestasi di sekolah. Dia pun tak perlu repot memikirkan biaya sekolah bulanan mereka.

“Uang jajan saja yang diberi setiap pagi. Ada yang Rp1.000, ada yang Rp2.000 dan ada juga yang Rp3.000. Tergantung sekolahnya,” jelas dia.

Menurut dia, cucu-cucunya mengerti kondisi keuangan neneknya dan tak pernah meminta macam-macam. Bahkan si sulung Haryanto, berniat langsung mencari kerja begitu menamatkan sekolahnya.

Untuk makan sehari-hari, Hadiani menyisihkan beras yang dikumpulkannya untuk dimasak dan dimakan bersama.  Kadang dia mendapat belas kasihan dari para tetangga yang iba kepada nasibnya.

“Makan seadanya saja, kadang pakai lauk kadang tidak,” jelasnya.

Hadiani tak berharap banyak, hanya ingin sehat selalu dan mampu membiayai cucunya hingga lulus sekolah.

Dia tak bisa membayangkan nasib cucu-cucunya jika dirinya jatuh sakit.

“Semoga saya sehat selalu,” katanya lirih.

Hadiani tak sendiri, di negeri ini, puluhan juta penduduk harus hidup sekeras Hadiani.  Mereka hidup di bawah garis kemiskinan, walaupun setiap tahun triliunan rupiah digulirkan untuk pengentasan kemiskinan.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2011 adalah 30,02 juta orang.  Angka ini sama dengan 12,49 persen dari total penduduk Indonesia.

Sumber : Kompas/ANT